Terlihat gadis berbaju hitam dan bersyal biru duduk
dengan santai. Di pojok kafe yang sepi. Bermain laptop ditemani kopi dan racikan
irama hampa. Sepertinya kursi itu kursi favoritnya, dan tempat ini adalah
tempat dia sering menghabiskan malam tanpa makna. Hal itu terlihat jelas sekali,
dari akrabnya para pelayan kafe ini dengannya. Aku memang jarang kemari, tetapi
tiap aku datang kemari pasti ada gadis itu sendiri. Seorang gadis manis, cantik
tetapi sangat cuek denganku dan isyarat tubuhnya seperti tak pernah
mengharapkanku. Aku tahu.
Jelas sekali dia tak pernah mengaharapkan kedatanganku.
Dia adalah si nona. Ya, itu adalah panggilan sayangku untuknya. Aku belum
pernah tahu nama aslinya. Begitupun sebaliknya. Kami pertama kali bertemu di
tempat ini. Sebuah kafe dimana ada menu kopi kental bercampur krim susu, bertabur
biskuit coklat, dan gulanya bisa dibubuhkan sendiri. Itu minuman kesukaan kami.
Pertemuan pertama kami adalah saat aku menempati kursi
kesayangannya itu. saat itu aku datang ke kafe ini karena ingin bertemu teman
SMA. Kafe dengan cat warna jingga dengan tema eropa, adalah pilihan Dika. Dika
adalah sahabat karibku saat SMA. Tapi sayang, pertemuanku dengan Dika gagal
karena dia tidak diperbolehkan keluar malam oleh orang tuanya. Alhasil, aku
hanya diam sendiri agak lama. Gadis manis itu tiba-tiba datang dan langsung
melabrakku dan memukulkan tasnya. Bukan hanya aku yang mendapat umpatannya,
pelayan kafe juga tak luput dari caciannya. Dengan alasan tak ada orang lain
yang boleh menempati kursinya. Saat itu aku membela diri, karena aku merasa
pelanggan yang memiliki hak asasi. Akhirnya kami berdua duduk dalam satu meja
tapi beda kursi.
Pertamanya, kami saling tak perduli. Asik bermain laptop
dan telepon genggam sendiri-sendiri, sampai akhirnya pelayan datang dan
membawakan minuman yang sama. Sebenarnya aku tak terlalu peduli akan hal itu,
tapi dia membuka obrolan.
“Suka kopi pekat ya?”
“Lagi pengin aja.” Jawabku malas.
“Oh, tumben kopi pekat dipesan anak muda.”
Aku hanya diam dan asik dengan laptopku. Dia terus saja
bicara seperti menunggu tanggapan dariku. Sesekali aku hanya memandangnya sinis
dan ragu, tapi perlahan keangkuhanku gugur juga. Matanya. Seorang gadis yang
memiliki mata indah dan aku belum pernah melihatnya. Itu yang melunturkan
perasaan canggung dan amarahku terhadapnya. Tiap ku tatap matanya, seakan mata
itu mengajak bicara. Akhirnya aku hanyut dalam obrolan, hingga malam semakin
larut dan kopi sudah surut. Pagi siap menjemput .
“Eh, aku belum kenal kamu.” Teriakku saat kami sama-sama
menaiki motor masing-masing.
“Alah, nama tak penting, kalau mau ketemu aku, ke sini
saja.”
“Oh, ya.”
Pemandangan kota besar saat pagi yang sudah biasa. Ayam
jantan yang berteriak-teriak dari dalam gang. Tukang koran mengayuh sepedanya
dengan kencang dan para tukang sayur sudah sibuk dengan dagangan di pasar. Semua
sibuk. Sesibuk pikiranku di atas motor saat itu. Aku memang sudah lama tak memiliki
kekasih, tetapi apa semudah itu memiliki seorang tambatan hati? Pertanyaan yang
sepertinya malas aku renungkan jawabannya. Tetapi matanya gadis itu tak bisa
aku buang dari kepala. Dan tujuanku untuk bertemu Dika sepertinya hilang.
Mungkin lain kali juga bisa, dan misi berganti mencari tambatan hati.
Hari begitu cepat berganti. Tak terasa. Waktu tak peduli
mau dirasa atau tidak. Malam sudah kembali bertolak. Ingatan tentang si mata
indah terus mendorongku. Tak bisa mengelak. Sampai akhirnya aku duduk lagi di
kursi kafe jingga. Sepertinya aku masih terlalu sore saat itu. Kafe masih sepi
dan pelayan masih asik menata dan membersihkan piring ataupun gelas. Dengan
gaya sok akrab aku memesan menu yang sama seperti kemarin ke pelayan kafe,
sekalian menanyakan tentang si nona. Semua pelayan kafe tidak ada yang tahu
namanya, hanya dia sering kemari dan biasanya sering ngobrol atau curhat dengan
salah satu pelayan perempuan di kafe itu. Informasi yang aku dapat, intinya dia
sudah memiliki pacar yang bekerja di pelayaran. Sesekali kekasihnya itu pulang
ke kota, dalam rentang satu atau dua bulan. Kekasihnya itu tampan dan sudah
mapan. Tetapi kelakuannya sering semena-mena. Terlalu mengekang nona, dan nona
sudah tahu kalau kekasihnya memiliki gadis lain selain dia. Dengan alasan sudah
terlanjur cinta, walaupun sering disakiti tetap saja cinta. Itulah informasi
sementara yang ada.
Sepertinya waktu tak mau lagi dirasa. Kopi sudah melebur.
Dan pagi hampir melompat dari timur. Tetapi dia belum datang dan aku putuskan
untuk pulang. Saat aku keluar dari kafe, tiba-tiba dia datang dan langsung
memelukku sambil menangis. Ah, seperti film saja, Pikirku. Tetapi kenapa dia
menangis? Pertanyaan yang juga tiba-tiba datang seperti angin. Belum begitu
lama, dia langsung menarikku untuk kembali duduk di kursi penantian. Dan sepertinya,
peran pelayan perempuan di kafe itu sebagai tempat curhat akan aku gantikan.
Dan benar apa yang aku perkirakan. Dia
menceritakan penyebab dia menangis dengan bonus semua kejelekan dan kebaikkan
pacarnya, walaupun kelebihannya hanya tampan dan sudah mapan. Penyebab dia
menangis, ternyata dia baru memergoki pacarnya yang kedatangan tamu tak
diundang. Yakni gadis lain di rumah pacarnya, dan wajahnya mirip dengan foto di
telepon genggam pacarnya. Dengan sikap terlihat dewasa aku memberi wejangan,
kemudian aku sodorkan pertanyaan yang siapa tahu bisa aku manfaatkan.
“Kenapa tidak kamu putuskan saja?”
“Aku sudah terlanjur cinta sama dia.”
Sial, pikirku. Kenapa dia rela menderita seperti ini atas
nama cinta. Sungguh cinta lawan jenis yang memang absurd. Sudah sadar di dua,
tapi masih saja cinta. Kenapa juga ada lelaki yang masih menduakan gadis
secantik ini, selain lelaki gila mungkin lelaki yang memiliki kelainan, gerutuku.
Di akhir obrolan dia mengatakan sangat nyaman dekat
denganku. Tetapi menurutnya untuk menjaga kenyamanan itu, alangkah baiknya kita
tak saling kenal satu sama lain. Kemudian dia menawarkan ajakan nonton film
besok malam. Tawaran yang tak bisa aku tolak dan berharap dia merasakan getaran
hati yang sama sepertiku. Di kota itu aku menginap di rumah pamanku. Rencananya
hanya dua hari, berhubung ada kado lain dari tuhan, jadi aku perpanjang kontrak
liburannya sampai hari yang belum ditentukan.
Mawar merah yang merekah dengan indah di tengah malam
kelabu. Hanya Tuhan dan dirinya yang tahu. Begitu juga kebahagiaanku malam itu,
hanya Tuhan dan Aku yang tahu.
***
Matahari turun perlahan. Langit di ufuk barat sudah
menjadi lautan emas yang terang. Burung bangau terbang dengan bahagia untuk
pulang. Dan aku sudah mandi serta bersandang sebaik mungkin. Aku ikuti prinsip
para jomblo, bahwa penampilan nomor satu. Semoga malam ini bisa menjadi
pelepasan makna jomblo yang melekat sangat lengket dengan diriku. Akhirnya
gadis yang aku tunggu dari tadi datang juga. Kami janjian di kafe biasanya.
Setelah ngobrol sebentar, kami langsung menuju bioskop di salah satu pusat
perbelanjaan di kota itu. Sebenarnya aku sudah tak peduli lagi film apa atau
yang bagaimana yang akan kita tonton, yang penting aku bisa berduaan dengannya.
Setelah menonton film, rencananya akan langsung aku ajak
kembali ke kafe dan kembali berkelakar. Tetapi dia malah mengajakku makan di tempat
favoritnya dan kekasihnya. Pas banget dengan perut yang sudah berteriak-teriak
dari tadi, batinku. Aku turuti saja kemauannya. Kembali lagi seperti dalam
cerita film. Tiba-tiba cowoknya datang. Dan memergoki nona berduaan denganku.
Ya normal sebenarnya, kan ini rumah makan favorit mereka. Si cowok langsung
marah-marah mengumpat ke nona, ke aku, ke pelayan dan ke semua pelanggan yang
ada. Dan di akhiri kata “putus.” Kenapa dia marah-marah sebegitu dahsyatnya dan
teriak-teriak tidak jelas. Apa tidak sadar dengan kelakuannya, pikirku.
Kemudian nona mengejar si cowok itu keluar, dan dengan air mata yang
bercucuran. Entah apa yang mereka perdebatkan di luar sana, sembari sang cowok
terus berusaha menghidupkan motornya.
“Cewek murahan, kita sudah putus!”
Terdengar
begitu keras teriakkan seorang lelaki. Dan dia langsung mengebutkan motornya
memasuki jalanan. Dalam lingkupan amarah, mungkin dia tak sadar melaju melawan
arah, dan tidak pula memperhatikan papan peringatan ada galian. Motornya
menabrak papan itu dan terperosok masuk ke dalam lubang galian. Kemudian dia
terpental dan diterima moncong sebuah mobil bak terbuka. Dan Saat itu pula
nyawanya memisahkan diri dari raganya. Lalu jeritan nona pecah sangat keras.
Nona langsung berlari menghampirinya, disusul orang-orang sekitar. Seketika itu
pula jalanan itu menjadi bendungan manusia yang sama-sama bingung, resah, atau
sekadar penasaran ada kejadian apa. Aku dekati nona dan ku coba menenangkannya,
tetapi dia malah menghardikku dan menuduh, akulah penyebab semua ini. Aku diam
lalu pergi.
Setelah kejadian itu, nona tak pernah membalas pesan singkatku.
Saat aku datang ke kafe malam berikutnya, nona langsung pulang tanpa memperdulikanku.
Mungkin kata maaf dariku sudah tak bermakna.
“Mas ini kopi pekatnya.” Suara pelayan memecah lamunanku.
“Oh ya, terima kasih.”
Wajah nona masih pucat seperti empat bulan lalu. Tatapan
yang selalu berpilu. Sebenarnya aku cinta dia, aku ingin ikut merasakan
kepahitan hatinya. Semoga pahitnya kopi pekat ini, mampu mengimbangi pahitnya
perasaan nona.
Komentar
Posting Komentar