Langsung ke konten utama

Awas Ada Galian, Gila!


            Terlihat gadis berbaju hitam dan bersyal biru duduk dengan santai. Di pojok kafe yang sepi. Bermain laptop ditemani kopi dan racikan irama hampa. Sepertinya kursi itu kursi favoritnya, dan tempat ini adalah tempat dia sering menghabiskan malam tanpa makna. Hal itu terlihat jelas sekali, dari akrabnya para pelayan kafe ini dengannya. Aku memang jarang kemari, tetapi tiap aku datang kemari pasti ada gadis itu sendiri. Seorang gadis manis, cantik tetapi sangat cuek denganku dan isyarat tubuhnya seperti tak pernah mengharapkanku. Aku tahu.
            Jelas sekali dia tak pernah mengaharapkan kedatanganku. Dia adalah si nona. Ya, itu adalah panggilan sayangku untuknya. Aku belum pernah tahu nama aslinya. Begitupun sebaliknya. Kami pertama kali bertemu di tempat ini. Sebuah kafe dimana ada menu kopi kental bercampur krim susu, bertabur biskuit coklat, dan gulanya bisa dibubuhkan sendiri. Itu minuman kesukaan kami.
            Pertemuan pertama kami adalah saat aku menempati kursi kesayangannya itu. saat itu aku datang ke kafe ini karena ingin bertemu teman SMA. Kafe dengan cat warna jingga dengan tema eropa, adalah pilihan Dika. Dika adalah sahabat karibku saat SMA. Tapi sayang, pertemuanku dengan Dika gagal karena dia tidak diperbolehkan keluar malam oleh orang tuanya. Alhasil, aku hanya diam sendiri agak lama. Gadis manis itu tiba-tiba datang dan langsung melabrakku dan memukulkan tasnya. Bukan hanya aku yang mendapat umpatannya, pelayan kafe juga tak luput dari caciannya. Dengan alasan tak ada orang lain yang boleh menempati kursinya. Saat itu aku membela diri, karena aku merasa pelanggan yang memiliki hak asasi. Akhirnya kami berdua duduk dalam satu meja tapi beda kursi.
            Pertamanya, kami saling tak perduli. Asik bermain laptop dan telepon genggam sendiri-sendiri, sampai akhirnya pelayan datang dan membawakan minuman yang sama. Sebenarnya aku tak terlalu peduli akan hal itu, tapi dia membuka obrolan.
            “Suka kopi pekat ya?”
            “Lagi pengin aja.” Jawabku malas.
            “Oh, tumben kopi pekat dipesan anak muda.”
            Aku hanya diam dan asik dengan laptopku. Dia terus saja bicara seperti menunggu tanggapan dariku. Sesekali aku hanya memandangnya sinis dan ragu, tapi perlahan keangkuhanku gugur juga. Matanya. Seorang gadis yang memiliki mata indah dan aku belum pernah melihatnya. Itu yang melunturkan perasaan canggung dan amarahku terhadapnya. Tiap ku tatap matanya, seakan mata itu mengajak bicara. Akhirnya aku hanyut dalam obrolan, hingga malam semakin larut dan kopi sudah surut. Pagi siap menjemput .
            “Eh, aku belum kenal kamu.” Teriakku saat kami sama-sama menaiki motor masing-masing.
            “Alah, nama tak penting, kalau mau ketemu aku, ke sini saja.”
            “Oh, ya.”
            Pemandangan kota besar saat pagi yang sudah biasa. Ayam jantan yang berteriak-teriak dari dalam gang. Tukang koran mengayuh sepedanya dengan kencang dan para tukang sayur sudah sibuk dengan dagangan di pasar. Semua sibuk. Sesibuk pikiranku di atas motor saat itu. Aku memang sudah lama tak memiliki kekasih, tetapi apa semudah itu memiliki seorang tambatan hati? Pertanyaan yang sepertinya malas aku renungkan jawabannya. Tetapi matanya gadis itu tak bisa aku buang dari kepala. Dan tujuanku untuk bertemu Dika sepertinya hilang. Mungkin lain kali juga bisa, dan misi berganti mencari tambatan hati.
            Hari begitu cepat berganti. Tak terasa. Waktu tak peduli mau dirasa atau tidak. Malam sudah kembali bertolak. Ingatan tentang si mata indah terus mendorongku. Tak bisa mengelak. Sampai akhirnya aku duduk lagi di kursi kafe jingga. Sepertinya aku masih terlalu sore saat itu. Kafe masih sepi dan pelayan masih asik menata dan membersihkan piring ataupun gelas. Dengan gaya sok akrab aku memesan menu yang sama seperti kemarin ke pelayan kafe, sekalian menanyakan tentang si nona. Semua pelayan kafe tidak ada yang tahu namanya, hanya dia sering kemari dan biasanya sering ngobrol atau curhat dengan salah satu pelayan perempuan di kafe itu. Informasi yang aku dapat, intinya dia sudah memiliki pacar yang bekerja di pelayaran. Sesekali kekasihnya itu pulang ke kota, dalam rentang satu atau dua bulan. Kekasihnya itu tampan dan sudah mapan. Tetapi kelakuannya sering semena-mena. Terlalu mengekang nona, dan nona sudah tahu kalau kekasihnya memiliki gadis lain selain dia. Dengan alasan sudah terlanjur cinta, walaupun sering disakiti tetap saja cinta. Itulah informasi sementara yang ada.
            Sepertinya waktu tak mau lagi dirasa. Kopi sudah melebur. Dan pagi hampir melompat dari timur. Tetapi dia belum datang dan aku putuskan untuk pulang. Saat aku keluar dari kafe, tiba-tiba dia datang dan langsung memelukku sambil menangis. Ah, seperti film saja, Pikirku. Tetapi kenapa dia menangis? Pertanyaan yang juga tiba-tiba datang seperti angin. Belum begitu lama, dia langsung menarikku untuk kembali duduk di kursi penantian. Dan sepertinya, peran pelayan perempuan di kafe itu sebagai tempat curhat akan aku gantikan. Dan benar  apa yang aku perkirakan. Dia menceritakan penyebab dia menangis dengan bonus semua kejelekan dan kebaikkan pacarnya, walaupun kelebihannya hanya tampan dan sudah mapan. Penyebab dia menangis, ternyata dia baru memergoki pacarnya yang kedatangan tamu tak diundang. Yakni gadis lain di rumah pacarnya, dan wajahnya mirip dengan foto di telepon genggam pacarnya. Dengan sikap terlihat dewasa aku memberi wejangan, kemudian aku sodorkan pertanyaan yang siapa tahu bisa aku manfaatkan.
            “Kenapa tidak kamu putuskan saja?”
            “Aku sudah terlanjur cinta sama dia.”
            Sial, pikirku. Kenapa dia rela menderita seperti ini atas nama cinta. Sungguh cinta lawan jenis yang memang absurd. Sudah sadar di dua, tapi masih saja cinta. Kenapa juga ada lelaki yang masih menduakan gadis secantik ini, selain lelaki gila mungkin lelaki yang memiliki kelainan, gerutuku.
            Di akhir obrolan dia mengatakan sangat nyaman dekat denganku. Tetapi menurutnya untuk menjaga kenyamanan itu, alangkah baiknya kita tak saling kenal satu sama lain. Kemudian dia menawarkan ajakan nonton film besok malam. Tawaran yang tak bisa aku tolak dan berharap dia merasakan getaran hati yang sama sepertiku. Di kota itu aku menginap di rumah pamanku. Rencananya hanya dua hari, berhubung ada kado lain dari tuhan, jadi aku perpanjang kontrak liburannya sampai hari yang belum ditentukan.
            Mawar merah yang merekah dengan indah di tengah malam kelabu. Hanya Tuhan dan dirinya yang tahu. Begitu juga kebahagiaanku malam itu, hanya Tuhan dan Aku yang tahu.
                                                                                    ***
            Matahari turun perlahan. Langit di ufuk barat sudah menjadi lautan emas yang terang. Burung bangau terbang dengan bahagia untuk pulang. Dan aku sudah mandi serta bersandang sebaik mungkin. Aku ikuti prinsip para jomblo, bahwa penampilan nomor satu. Semoga malam ini bisa menjadi pelepasan makna jomblo yang melekat sangat lengket dengan diriku. Akhirnya gadis yang aku tunggu dari tadi datang juga. Kami janjian di kafe biasanya. Setelah ngobrol sebentar, kami langsung menuju bioskop di salah satu pusat perbelanjaan di kota itu. Sebenarnya aku sudah tak peduli lagi film apa atau yang bagaimana yang akan kita tonton, yang penting aku bisa berduaan dengannya.
            Setelah menonton film, rencananya akan langsung aku ajak kembali ke kafe dan kembali berkelakar. Tetapi dia malah mengajakku makan di tempat favoritnya dan kekasihnya. Pas banget dengan perut yang sudah berteriak-teriak dari tadi, batinku. Aku turuti saja kemauannya. Kembali lagi seperti dalam cerita film. Tiba-tiba cowoknya datang. Dan memergoki nona berduaan denganku. Ya normal sebenarnya, kan ini rumah makan favorit mereka. Si cowok langsung marah-marah mengumpat ke nona, ke aku, ke pelayan dan ke semua pelanggan yang ada. Dan di akhiri kata “putus.” Kenapa dia marah-marah sebegitu dahsyatnya dan teriak-teriak tidak jelas. Apa tidak sadar dengan kelakuannya, pikirku. Kemudian nona mengejar si cowok itu keluar, dan dengan air mata yang bercucuran. Entah apa yang mereka perdebatkan di luar sana, sembari sang cowok terus berusaha menghidupkan motornya.
            “Cewek murahan, kita sudah putus!”
Terdengar begitu keras teriakkan seorang lelaki. Dan dia langsung mengebutkan motornya memasuki jalanan. Dalam lingkupan amarah, mungkin dia tak sadar melaju melawan arah, dan tidak pula memperhatikan papan peringatan ada galian. Motornya menabrak papan itu dan terperosok masuk ke dalam lubang galian. Kemudian dia terpental dan diterima moncong sebuah mobil bak terbuka. Dan Saat itu pula nyawanya memisahkan diri dari raganya. Lalu jeritan nona pecah sangat keras. Nona langsung berlari menghampirinya, disusul orang-orang sekitar. Seketika itu pula jalanan itu menjadi bendungan manusia yang sama-sama bingung, resah, atau sekadar penasaran ada kejadian apa. Aku dekati nona dan ku coba menenangkannya, tetapi dia malah menghardikku dan menuduh, akulah penyebab semua ini. Aku diam lalu pergi.
            Setelah kejadian itu, nona tak pernah membalas pesan singkatku. Saat aku datang ke kafe malam berikutnya, nona langsung pulang tanpa memperdulikanku. Mungkin kata maaf dariku sudah tak bermakna.
            “Mas ini kopi pekatnya.” Suara pelayan memecah lamunanku.
            “Oh ya, terima kasih.”
            Wajah nona masih pucat seperti empat bulan lalu. Tatapan yang selalu berpilu. Sebenarnya aku cinta dia, aku ingin ikut merasakan kepahitan hatinya. Semoga pahitnya kopi pekat ini, mampu mengimbangi pahitnya perasaan nona.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS FEMINISME NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH Pada hakitanya sebuah karya sastra adalah replika kehidupan nyata. Walaupun berbentuk fiksi, misalnya cerpen, novel, dan drama, persoalan yang disodorkan oleh pengarang tak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Hanya saja dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dengan gaya yang berbeda-beda dan syarat pesan moral bagi kehidupan manusia. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Meskipun demikian, karya sastra yang diciptakan pengarang kadang-kadang mengandung subjektivitas yang tinggi. Imajinasi yang tertuang dalam karya sastra, meski dibalut dalam semangat kreativitas, tidak luput dari selera dan kecenderungan subjektif, aspirasi, dan opini personal ketika merespons objek di luar dirinya, serta muatan-muatan khas individualistik yang melekat pada diri penulisnya sehingga ekspresi karya bekerja atas dasa

Membangun Moralitas Mahasiswa sebagai Calon Guru yang Berkarakter Kuat dan Cerdas

BAB I PENDAHULUAN A.             Latar Belakang Setelah Hirosima dan Nagasaki hancur ketika dikirimi paket bom atom oleh Amerika Serikat pada tahun 1942, pertanyaan pertama yang mengusik kegundahan Kaisar Hirohito (Kaisar Jepang pada waktu itu) adalah masih berapa banyak guru dan tenaga kesehatan yang masih selamat dari pemboman tersebut? Peristiwa tersebut setidaknya membawa pesan univesal betapa pentingnya guru dan tenaga kesehatan bagi suatu bangsa, sehingga dalam peristiwa katastropis, perhatian pertama seorang pemimpin bangsa adalah tentang nasib para guru dari bangsa tersebut. Bangsa Indonesia berada pada titik nadir akan kehilangan jati dirinya, peradaban bangsa yang luhur telah hilang entah kemana. Siapa yang bertanggung jawab atas kemrosotan ini? Bangsa yang dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban yag tinggi dan sekarang hilang entah kemana. Bahkan sekarang tergantikan dengan bangsa yang terkenal dengan budaya korupsinya, bangsa yang tidak memiliki kepr

PERKEMBANGAN BAHASA DAN MASA DEPAN BANGSA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Hampir semua bidang ilmu yang ada termasuk ilmu bahasa (linguistik) mengikuti perkembangan mengikuti waktu yang terus berjalan tanpa henti. Hanya saja ada bidang ilmu tertentu yang perkembangannya sangat pesat, seperti teknologi elektronika dan komputer, dan ada juga bidang ilmu lain yang perkembangannya lebih lambat. Ilmu bahasa termasuk salah satu cabang ilmu humaniora   yang perkembangannya agak lambat. Perkembangan ilmu bahasa ini memberikan manfaat sekaligus tantangan bagi para pengajar bahasa dan para mahasiswa bahasa.Bagi para pengajar bahasa, perkembangan ilmu bahasa memberikan wawasan yang semakin luas tentang teori, aspek dan hakikat bahasa. Dengan demikian, semakin dalamnya pemahaman para pengajar bahasa tentang bermacam-macam teori ilmu bahasa, semakin terbuka wawasan dan pengertiannya tentang aspek dan hakikat bahasa termasuk proses pemerolehan bahasa, pembelajaran bahasa, dan bagaimana cara pengajaran bahasa yang rel