Langsung ke konten utama

Membangun Moralitas Mahasiswa sebagai Calon Guru yang Berkarakter Kuat dan Cerdas


BAB I
PENDAHULUAN
A.            Latar Belakang
Setelah Hirosima dan Nagasaki hancur ketika dikirimi paket bom atom oleh Amerika Serikat pada tahun 1942, pertanyaan pertama yang mengusik kegundahan Kaisar Hirohito (Kaisar Jepang pada waktu itu) adalah masih berapa banyak guru dan tenaga kesehatan yang masih selamat dari pemboman tersebut? Peristiwa tersebut setidaknya membawa pesan univesal betapa pentingnya guru dan tenaga kesehatan bagi suatu bangsa, sehingga dalam peristiwa katastropis, perhatian pertama seorang pemimpin bangsa adalah tentang nasib para guru dari bangsa tersebut.
Bangsa Indonesia berada pada titik nadir akan kehilangan jati dirinya, peradaban bangsa yang luhur telah hilang entah kemana. Siapa yang bertanggung jawab atas kemrosotan ini? Bangsa yang dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban yag tinggi dan sekarang hilang entah kemana. Bahkan sekarang tergantikan dengan bangsa yang terkenal dengan budaya korupsinya, bangsa yang tidak memiliki kepribadian, bangsa yang kacau, bangsa yang anarkis dan atribut jelek lainnya yang kini melekat pada bangsa ini.
Menyoroti masalah bangsa ini, mulailah kita menoleh kanan dan kiri siapa yang patut disalahkan? Sorotan tertinggi tertuju pada sistem pendidikannya. Berbagai pendapat dan kritik mulai terlontar. Sistem pendidikan nasional dan gurulah yang menjadi ujung tombaknya, dan bertanggung jawab akan kerusuhan bangsa ini.
Sudah saatnya kegagalan dalam sistem pendidikan nasional diperhatikan dengan serius. Keseriusan dan kerja keras oleh semua pihak dalam mengembalikan kepada visi, misi, tujuan dan fungsi pendidikan nasional pada jalur yang benar dan akan mampu membentuk watak masyarakat yang berkarakter kuat dan cerdas.
Pemerintah pun ikut andil dalam kesejahteraan guru dengan pengalokasian APBN sebesar 20% untuk dunia pendidikan. Dengan adanya keputusan ini maka kesejahteraan guru pun meningkat. Contohnya dengan adanya sertifikasi yang menjadikan guru sebagai profesi, tunjangan dan gaji ketigabelas. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa ilmu pendidikan yang terus bertambah tiap tahunnya. Dengan keadaan yang seperti ini maka mahasiswa ilmu pendidikan yang nantinya akan menjadi guru haruslah menjadi mahasiswa yang berkarakter kuat dan cerdas.
B.            Permasalahan
Dalam menyiapkan calon guru yang berkarater kuat dan cerdas terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Beberapa diantaranya:
1.      Apakah pendidikan berkarakter itu?
2.      Bagaimana cara membentuk moral mahasiswa dan guru yang berkarakter kuat
3.      Kendala apa saja yang dihadapi dalam dalam proses pembentukan karakter mahasiswa calon guru
C.            Tujuan dan Manfaat

C.1. Tujuan :

1.      Terciptanya guru yang profesional dan berkarakter kuat
2.      Terciptanya moralitas dan kepribadian yang baik para calon guru
3.      Diharapkan dengan adanya guru yang berkarakter kuat dan cerdas mampu mengembalikan dan memajukan bangsa ini ke arah lebih baik
C.2. Manfaat:
1. Memberikan wahana pembelajaran baru bagi para guru atau para calon guru tentang pendidikan yang berkarakter
2. Sebagai wacana bagi para guru atau pun para calon guru tentang pendidikan yang berkarakter kuat dan cerdas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Karakter
Mendidik adalah usaha untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang (UU RI No. 2 tahun 1989 : 2). Pendidikan menurut  Piet A. Sahertian (1994) pendidikan adalah usaha sadar yang dirancang untuk mencapai tujuan. Karakter, menurut Megawangi, R. (2007) karakter berasal dari bahasa Yunani yakni charassein, yang artinya mengukir, sehingga terbentuk suatu pola. Jadi, dalam mendidik peserta didik yang berkarakter perlu proses ‘mengukir’ yakni pengasuhan dan peneladanan peserta didik yang tepat. Karakter merupakan perilaku, bukan pengetahuan sehingga untuk dapat diinternalisasi oleh pesrta didik, maka harus diteladankan bukan hanya diajarkan.
Menurut Raharjo, S.B. (2010) menyatakan “pendidikan karakter merupakan merupakan suatu proses pendidikan yang secara holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai pondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip kebenaran yang dan dapat dipertanggungjawabkan”.  Pendidikan karakter pada hakikatnya merupakan konsekuensi tanggung jawab seseorang untuk memenuhi suatu kewajiban.
Menurut Foerster yang dikutip oleh Koesoema, D., ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior  di mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan; kedua, koherensi yang memberi keberanian, sehingga  membuat seseorang teguh dengan prinsip tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang; ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat dari penilaian atas keputusan pribadi tanpa adanya pengaruh atau desakan dari pihak lain; keempat, keteguhan atau kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mempertahankan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
B.     Pendidikan Karakter Seperti Apa yang Membangun
Pendidikan karakter sangat penting ditanamkan sedini mungkin. Karena dengan karakter yang baik maka kita melakukan hal-hal yang patut, baik dan benar sehingga kita dapat berkiprah menuju kesuksesan hidup, kerukunan antar sesama dan berada pada koridor perilaku yang baik. Sebaliknya, kalau kita melanggar maka kita akan mengalami hal-hal yang tidak nyaman, dari yang sifatnya ringan, seperti tidak disenangi, tidak dihormati orang lain, sampai yang berat seperti melakukan pelanggaran hukum.
Pendidikan karakter membutuhkan praktek nyata bukan hanya sekedar teori-teori dan konsep semata. Saat ini pendidikan karakter sangatlah digembor-gemborkan, karena dengan cara inilah bangsa Indonesia bisa bangun dari keterpurukan. Jurnal, artikel baik ilmiah atau pun non ilmiah, buku, konsep, gagasan, bahkan penelitian tentang pendidikan karakter saat ini sudah sangatlah banyak. Menurut Suwandi yang dikutip oleh Wahid, A (2009) Pelaksanaan pendidikan karakter  di sekolah lebih tepat dilakukan dengan pendekatan percontohan (modelling), keteladanan (uswah) yang dilakukan oleh guru. Karena Karakter merupakan perilaku (behaviour), bukan pengetahuan sehingga untuk dapat diinternalisasi oleh peserta didik, maka harus diteladankan bukan hanya diajarkan.
Saat ini peran guru sangat  penting sebagai pendidik, karena guru menggantikan peran orang tua aslinya yang seharusnya mendidik anaknya. Guru secara langsung jelas meringankan sebagian tugas dari orang tua untuk mendidik anaknya. Guru dalam proses pembelajaran memiliki peran yang sangat penting. Bagaimanapun kemajuan IPTEKS, peran guru akan tetap diperlukan. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka guru harus mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikkan kualitas pribadi peserta didik.
Menurut Mulyasa yang dikutip oleh Rahman Getteng (2009), guru harus memacu diri dalam pembelajaran, dengan memberikan kemudahan belajar bagi seluruh peserta didik agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan menyenangkan, dengan memposisikan diri sebagai berikut: 1) Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya, 2) Teman, tempat mengadu, dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik, 3) Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, dan guru sebagai model, 4) Kemampuan dan bakatnya, 5) Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahnya, 6) Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab, 7) Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan (silaturahmi) dengan orang lain secara wajar, 8) Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antara peserta didik, orang lain, dan lingkungannya, 9) Mengembangkan kreatifitas, 10) Menjadi pembantu ketika diperlukan.
Dalam Teachers For Our Nation’s Schools, John Goodlad memberikan kerangka kerja gambaran mengajar yang mendasari diskusi dimensi moral mengajar. Untuk menegaskan pentingnya moral dalam profesi ini, ia menyatakan tanggung jawab pendidik terhadap sekolah dan anak: “memunculkan budaya kritis” generasi muda terhadap demokrasi sosial  dan politis, “menyediakan akses pengetahuan” kepada seluruh anak dan generasi muda di negara ini dengan cara yang adil, “membangun hubungan guru-murid yang efektif” lewat pelaksanaan bimbingan pedagogis, dan “mengasuh dengan baik”.
Dalam Undang-Undang sudah jelas sekali tentang kompetensi guru seperti apa saja yang dibutuhkan. Yakni dalam Undang-Undang Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005 disebutkan seorang guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi profesional, pedagogis, personal, dan sosial. Aspek yang paling penting dan mendasar agar mampu mendidik karakter siswa adalah aspek personal (kepribadian), karena aspek inilah akan lahir komitmen diri, dedikasi, kepedulian, dan kemauan kuat untuk terus berbuat yang terbaik dalam kiprahnya di dunia pendidikan.
C.     Kendala Dalam Pendidikan Karakter

Menurut Furqon, H. (2010) beberapa faktor penyebab rendahnya pendidikan karakter  adalah: 1) Sistem pendidikan yang kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi lebih menekankan pengembang intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan menekankan aspek kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN). 2) Kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik.
Pendapat lain yakni dalam buku yang berjudul “Bangkit dengan Tujuh Budi Utama” Ary Ginanjar Agustian (2009)  menjelaskan yang menjadi masalah dalam upaya mengembangkan karakter mahasiswa adalah, 1) Hilangnya kejujuran, 2) Hilangnya rasa tanggung jawab, 3) Tidak berpikir jauh kedepan (Visioner), 4) Rendahnya disiplin, 5) Krisis kerjasama, 6) Krisis keadilan, dan 7)  Krisis kepedulian. Dalam buku tersebut juga diberi penawarnya yakni tujuh budi luhur yaitu, Jujur, Tanggung jawab, Visioner, Disiplin Kerjasama, adil, dan peduli.



BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
  1. Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, pendidikan karakter merupakan merupakan suatu proses pendidikan yang secara holistik yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan peserta didik sebagai pondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup mandiri dan memiliki prinsip kebenaran yang dan dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, pendidikan karakter tidak hanya dibutuhkan konsep dan teori semata. Ketiga, karakter merupakan perilaku, bukan pengetahuan sehingga untuk dapat diinternalisasi oleh pesrta didik, maka harus diteladankan bukan hanya diajarkan. Keempat, Pelaksanaan pendidikan karakter  di sekolah lebih tepat dilakukan dengan pendekatan percontohan (modelling), keteladanan (uswah) yang dilakukan oleh guru. Kelima, keteladanan guru perlu diciptakan karena gurulah sebagai tokoh sentral yang selalu diperhatikan peserta didik di sekolah. Keenam, bekal atau modal Jujur, Tanggung jawab, Visioner, Disiplin Kerjasama, adil, dan peduli.
  1. Saran
Berdasarkan simpulan di atas beberapa saran ditujukan kepada para pemangku kepentingan. Pertama, diharapkan semua guru mata pelajaran diharapkan mampu mengimplementasikan pendidikan karakter melalui nilai-nilai moral yang dikandung mata pelajarannya guna membentuk karakter peserta didik. Kedua, semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah diharapkan dapat membentuk komunitas moral yang bertanggung jawab untuk menyukseskan pendidikan karakter. Ketiga, diharapkan keluarga dan anggota masyarakat diharapkan mampu menjadi mitra dalam membangun karakter peserta didik. Keempat, diharapkan pemerintah lebih memperhatikan tentang sistem pendidikan dan sistem perekrutan guru sehingga, harapan menciptakan generasi yang berkarakter kuat dan cerdas mampu tercipta.









DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. 2009. Bangkit dengan Tujuh Budi Utama. Jakarta: PT Arga Publishing.
A. Norlander –Case, Kay. G. Reagen, Timonthy. Dan W. Case, Charles. 2009. Guru Profesional: Penyiapan dan Pembimbingan Praktisi Pemikir. Jakarta, PT. Indeks.
A. Sahertian, Piet. 1994. Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta, Andi Offset.
Getteng, Abd. Rahman. 2009. Menuju Guru Profesional dan Ber-Etika. Yogyakarta. Grha Guru.
Hidayatullah, M. Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Kadipiro Surakarta. Yuma Pustaka.
Nurchaili. 2010. Membentuk Karakter Siswa Melalui keteladanan Guru. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Volume 16. Edisi Khusus III, Oktober 2010. Jakarta. Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional.
Suharno. 2010. Peranan LPTK Dalam Menyiapkan Calon Guru yang Berkepribadian. Jurnal Akademika, Volume II, No. 1, Januari 2010. Surakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS FEMINISME NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH Pada hakitanya sebuah karya sastra adalah replika kehidupan nyata. Walaupun berbentuk fiksi, misalnya cerpen, novel, dan drama, persoalan yang disodorkan oleh pengarang tak terlepas dari pengalaman kehidupan nyata sehari-hari. Hanya saja dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dengan gaya yang berbeda-beda dan syarat pesan moral bagi kehidupan manusia. Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya. Meskipun demikian, karya sastra yang diciptakan pengarang kadang-kadang mengandung subjektivitas yang tinggi. Imajinasi yang tertuang dalam karya sastra, meski dibalut dalam semangat kreativitas, tidak luput dari selera dan kecenderungan subjektif, aspirasi, dan opini personal ketika merespons objek di luar dirinya, serta muatan-muatan khas individualistik yang melekat pada diri penulisnya sehingga ekspresi karya bekerja atas dasa

PERKEMBANGAN BAHASA DAN MASA DEPAN BANGSA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Hampir semua bidang ilmu yang ada termasuk ilmu bahasa (linguistik) mengikuti perkembangan mengikuti waktu yang terus berjalan tanpa henti. Hanya saja ada bidang ilmu tertentu yang perkembangannya sangat pesat, seperti teknologi elektronika dan komputer, dan ada juga bidang ilmu lain yang perkembangannya lebih lambat. Ilmu bahasa termasuk salah satu cabang ilmu humaniora   yang perkembangannya agak lambat. Perkembangan ilmu bahasa ini memberikan manfaat sekaligus tantangan bagi para pengajar bahasa dan para mahasiswa bahasa.Bagi para pengajar bahasa, perkembangan ilmu bahasa memberikan wawasan yang semakin luas tentang teori, aspek dan hakikat bahasa. Dengan demikian, semakin dalamnya pemahaman para pengajar bahasa tentang bermacam-macam teori ilmu bahasa, semakin terbuka wawasan dan pengertiannya tentang aspek dan hakikat bahasa termasuk proses pemerolehan bahasa, pembelajaran bahasa, dan bagaimana cara pengajaran bahasa yang rel