"Kenapa jalannya belok terus sih?"
"lha gimana lagi, memang mau nabrak!!"
"Matamu, sudah jelas jalannya lurus bisa, kamunya saja yang gak mau usaha."
"Kenapa nyalahin aku, kenapa kamu juga ngak mikir!!!"
Malam sudah melarutkan kopi dengan garang. Mengalunkan keindahan nada alam dengan tenang. Masih bermainkah dengan dengan logika disaat genting seperti ini. Apa kamu juga akan ikhlas liat rumahmu terbakar? Sumpah, kamu mikir sekali lagi bisa ngak. Gila, stres semuanya.
Kemarin malam jalannya sudah di tutup. Kebun belakang rumahnya ramai oleh semburat api. Tumben Pak Lurah hanya diam dan merenung di bawah pohon melinjo itu. Padahal biasanya Dia yang paling sibuk kalau ada masalah. Tapi Dia Diam. Sesekali senyumnya melengking sinis. Senyum bibirnya mengayun berat. Seberat pikiran yang menindih kepalanya yang selalu trjerat pukat.
"Ada selendang bermain di leherku, tinggal ku ikat di batang pohon ini. Semuanya selesai."
"Tapi malam ini aku bisa hancur, dan menjadi abu seperti rumah itu."
"Ah, malam sepertinya malas memainkan logikaku."
"Lampu hijau sudah menyala untuk terbang."
"Gelap."
Hingar bingar desa karena kebakaran semakin menjadi-jadi. Pemilik rumah sudah ikhlas akan hartanya yang musnah, tapi tak ikhlas harus ada nyawa yang ikut punah. Kenapa harus ada korban jiwa! Sudah cukup hartaku, kenapa harta desa ini juga pergi.
Hari terus berlari meninggalkan semua kenangan, duka, luka, bahagia dan nestapa. Lurah baru sudah terpilih, namun bayangan pak Kadimin belum musnah seutuhnya. Jalanan desa yang menjadi halus, sekolah-sekolah dibangun dengan cepat, dan layanan kesehatan menjadi mudah dan itulah yang menjadikan kenangan bagi semua. Lurah baru sudah empat tahun menjabat, tapi kenapa desa ini terasa semakin mundur. Tak ada pelayan puskesmas sekarang merana, sekolah kehilangan asa, dan jalanan kehilangan makna.
Kemana sebenarnya pemimpin yang baru itu. Janjinya mau bangun desa, lha nyatanya? Cuma tanya saja yang ada. Katanya Demokrasi sudah di servis dan di isi ulang bensinnya. Nyatanya masih juga mogok dan nangkring di garasi kelurahan. Sekarang sudah bisa di tebak mana rumah perangkat desa dan mana rakyat jelata.
"lha gimana lagi, memang mau nabrak!!"
"Matamu, sudah jelas jalannya lurus bisa, kamunya saja yang gak mau usaha."
"Kenapa nyalahin aku, kenapa kamu juga ngak mikir!!!"
Malam sudah melarutkan kopi dengan garang. Mengalunkan keindahan nada alam dengan tenang. Masih bermainkah dengan dengan logika disaat genting seperti ini. Apa kamu juga akan ikhlas liat rumahmu terbakar? Sumpah, kamu mikir sekali lagi bisa ngak. Gila, stres semuanya.
Kemarin malam jalannya sudah di tutup. Kebun belakang rumahnya ramai oleh semburat api. Tumben Pak Lurah hanya diam dan merenung di bawah pohon melinjo itu. Padahal biasanya Dia yang paling sibuk kalau ada masalah. Tapi Dia Diam. Sesekali senyumnya melengking sinis. Senyum bibirnya mengayun berat. Seberat pikiran yang menindih kepalanya yang selalu trjerat pukat.
"Ada selendang bermain di leherku, tinggal ku ikat di batang pohon ini. Semuanya selesai."
"Tapi malam ini aku bisa hancur, dan menjadi abu seperti rumah itu."
"Ah, malam sepertinya malas memainkan logikaku."
"Lampu hijau sudah menyala untuk terbang."
"Gelap."
Hingar bingar desa karena kebakaran semakin menjadi-jadi. Pemilik rumah sudah ikhlas akan hartanya yang musnah, tapi tak ikhlas harus ada nyawa yang ikut punah. Kenapa harus ada korban jiwa! Sudah cukup hartaku, kenapa harta desa ini juga pergi.
Hari terus berlari meninggalkan semua kenangan, duka, luka, bahagia dan nestapa. Lurah baru sudah terpilih, namun bayangan pak Kadimin belum musnah seutuhnya. Jalanan desa yang menjadi halus, sekolah-sekolah dibangun dengan cepat, dan layanan kesehatan menjadi mudah dan itulah yang menjadikan kenangan bagi semua. Lurah baru sudah empat tahun menjabat, tapi kenapa desa ini terasa semakin mundur. Tak ada pelayan puskesmas sekarang merana, sekolah kehilangan asa, dan jalanan kehilangan makna.
Kemana sebenarnya pemimpin yang baru itu. Janjinya mau bangun desa, lha nyatanya? Cuma tanya saja yang ada. Katanya Demokrasi sudah di servis dan di isi ulang bensinnya. Nyatanya masih juga mogok dan nangkring di garasi kelurahan. Sekarang sudah bisa di tebak mana rumah perangkat desa dan mana rakyat jelata.
Komentar
Posting Komentar